I . AWAL PERTUMBUHAN KOPERASI INDONESIA
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 (Ahmed
1964, h. 57) yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang. Perkembangan koperasi di Indonesia mengalami pasang naik dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan usaha secara menyeluruh yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya. Jikalau pertumbuhan koperasi yang pertama di Indonesia menekankan pada kegiatan simpan-pinjam (Soedjono 1983, h.7) maka selanjutnya tumbuh pula koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang konsumsi dan dan kemudian koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang untuk keperluan produksi. Perkembangan koperasi dari berbagai jenis kegiatan usaha tersebut selanjutnya ada kecenderungan menuju kepada suatu bentuk koperasi yang memiliki beberapa jenis kegiatan usaha. Koperasi serba usaha ini mengambil langkah-langkah kegiatan usaha yang paling mudah mereka kerjakan terlebih dulu, seperti kegiatan penyediaan barang-barang keperluan produksi bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam ataupun kegiatan penyediaan barang-barang keperluan konsumsi bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam dan sebagainya .
Untuk menggiatkan pertumbuhan koperasi, pada akhir tahun 1930 didirikan Jawatan Koperasi dengan tugas:
a. memberikan penerangan kepada pengusaha-pengusaha Indonesia mengenai seluk beluk perdagangan;
b. dalam rangka peraturan koerasi No 91, melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap koperasi-koperasi, serta memberikan penerangannya;
c. memberikan keterangan-keterangan tentang perdagangan pengangkutan, cara-cara perkreditan dan hal ihwal lainnya yang menyangkut perusahaan-perusahaan;
d. penerangan tentang organisasi perusahaan; e. menyiapkan tindakan-tindakan hukum bagi pengusaha Indonesia .
DR. J.H. Boeke yang dulunya memimpin “Komisi Koperasi” 1920 ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Koperasi yang pertama.
Selanjutnya pada tahun 1933 diterbitkan Peraturan Perkoperasian dalam berntuk Gouvernmentsbesluit no.21 yang termuat di dalam Staatsblad no. 108/1933 yang menggantikan Koninklijke Besluit no. 431 tahun 1915. Peraturan Perkoperasian 1933 ini diperuntukkan bagi orang-orang Eropa dan golongan Timur Asing. Dengan demikian di Indonesia pada waktu itu berlaku 2 Peraturan Perkopersian, yakni Peraturan Perkoperasian tahun 1927 yang diperuntukan bagi golongan Bumi Putera dan Peraturan Perkoperasian tahun 1933 yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing.
Kongres Muhamadiyah pada tahun 1935 dan 1938 memutuskan tekadnya untuk mengembangkan koperasi di seluruh wilayah Indonesia, terutama di lingkungan warganya. Diharapkan para warga Muhammadiyah dapat memelopori dan bersama-sama anggota masyarakat yang lain untuk mendirikan dan mengembangkan koperasi. Berbagai koperasi dibidang produksi mulai tumbuh dan berkembang antara lain koperasi batik yang diperlopori oleh H. Zarkasi, H. Samanhudi dan K.H. Idris.
Perkembangan koperasi semenjak berdirinya Jawatan Koperasi tahun 1930 menunjukkan suatu tingkat perkembangan yang terus meningkat. Jikalau pada tahun 1930 jumlah koperasi 39 buah, maka pada tahun 1939 jumlahnya menjadi 574 buah dengan jumlah anggota pada tahun 1930 sebanyak 7.848 orang kemudian berkembang menjadi 52.555 orang.
Sedang kegiatannya dari 574 koperasi tersebut diantaranya 423 kopersi (=77%) adalah koperasi yang bergerak dibidang simpan-pinjam (Djojohadikoesoemo,1940 h.82) sedangkan selebihnya adalah kopersi jenis konsumsi ataupun produksi. Dari 423 koperasi simpan-pinjam tersebut diantaranya 19 buah adalah koperasi lumbung.
Pada masa pendudukan bala tentara Jepang istilah koperasi lebih dikenal menjadi istilah “Kumiai”. Pemerintahan bala tentara Jepang di di Indonesia menetapkan bahwa semua Badan-badan Pemerintahan dan kekuasaan hukum serta Undang-undang dari Pemerintah yang terdahulu tetap diakui sementara waktu, asal saja tidak bertentangandengan Peraturan Pemerintah Militer. Berdasarkan atas ketentuan tersebut, maka Peraturan Perkoperasian tahun 1927 masih tetap berlaku. Akan tetapi berdasarkan Undang-undang No. 23 dari Pemerintahan bala tentara Jepang di Indonesia mengatur tentang pendirian perkumpulan dan penmyelenggaraan persidangan. Sebagai akibat daripada peraturan tersebut , maka jikalau masyarat ingin mendirikan suatu perkumpulan koperasi harus mendapat izin Residen (Shuchokan) dengan menjelaskan syarat-syarat sebagai berikut :
a. Maksud perkumpulan atau persidangan, baik sifat maupun aturanaturannya ;
b. Tempat dan tanggal perkumpulan didirikan atau persidangan diadakan ;
c. Nama orang yang bertangguing jawab, kepengurusan dan anggotaanggotanya ;
d. Sumpah bahwa perkumpulan atau persidangan yang bersangkutan itu sekali-kali bukan pergerakan politik.
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka di beberapa daerah banyak koperasi lama yang harus menghentikan usahanya dan tidak boleh bekerja lagi sebelum mendapat izin baru dari”Scuchokan”. Undang-undang ini pada hakekatnya bermaksud mengawasi perkumpulan-perkumpulan dari segi kepolisian (Team UGM 1984, h. 139 – 140).
Perkembangan Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang dikarenakan masalah ekonomi yang semakin sulit memerlukan peran “Kumiai” (koperasi). Pemerintah pada waktu itu melalui kebijaksanaan dari atas menganjurkan berdirinya “Kumiai” di desa-desa yang tujuannya untuk melakukan kegiatan distribusi barang yang jumlahnya semakin hari semakin kurang karena situasi perang dan tekanan ekonomi Internasional (misalnya gula pasir, minyak tanah, beras, rokok dan sebagainya). Di lain pihak Pemerintah pendudukan bala tentara Jepang memerlukan barang-barang yang dinilai penting untuk dikirim ke Jepang (misalnya biji jarak, hasil-hasil bumi yang lain, besi tua dan sebagainya) yang untuk itu masyarakat agar menyetorkannya melalui “Kumiai”. Kumiai (koperasi) dijadikan alat kebijaksanaan dari Pemerintah bala tentara Jepang sejalan dengan kepentingannya. Peranan koperasi sebagaimana dilaksanakan pada zaman Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang tersebut sangat merugikan bagi para anggota dan masyarakat pada umumnya.
II . PERTUMBUHAN KOPERASI SETELAH KEMERDEKAAN
Gerakan koperasi di Indonesia yang lahir pada akhir abad 19 dalam suasana sebagai Negara jajahan tidak memiliki suatu iklim yang menguntungkan bagi pertumbuhannya. Baru kemudian setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, dengan tegas perkoperasian ditulis di dalam UUD 1945. DR. H. Moh Hatta sebagai salah seorang “Founding Father” Republik Indonesia, berusaha memasukkan rumusan perkoperasian di dalam “konstitusi”. Sejak kemerdekaan itu pula koperasi di Indonesia mengalami suatu perkembangan yang lebih baik. Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 beserta penjelasannya menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa bangun perekonomian yang sesuai dengan azas kekeluargaan tersebut adalah koperasi. Di dalam pasal 33 UUd 1945 tersebut diatur pula di samping koperasi, juga peranan daripada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Swasta.
Pada akhir 1946, Jawatan Koperasi mengadakan pendaftaran koperasi dan tercatat sebanyak 2500 buah koperasi di seluruh Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia bertindak aktif dalam pengembangan perkoperasian. Disamping menganjurkan berdirinya berbagai jenis koperasi Pemerintah RI berusaha memperluas dan menyebarkan pengetahuantentang koperasi dengan jalan mengadakan kursus-kursus koperasi di berbagai tempat.
Pada tanggal 12 Juli 1947 diselenggarakan kongres koperasi se Jawa yang pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut diputuskan antara lain terbentuknya Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia yang disingkat SOKRI; menjadikan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi serta menganjurkan diselenggarakan pendidikan koperasi di kalangan pengurus, pegawai dan masyarakat. Selanjutnya, koperasi pertumbuhannya semakin pesat. Tetapi dengan terjadinya agresi I dan agresi II dari pihak Belanda terhadap Republik Indonesia serta pemberontakan PKI di Madiunpada tahun 1948 banyak merugikan terhadap gerakan koperasi.
Pada tahun 1949 diterbitkan Peraturan Perkoperasian yang dimuat di dalam Staatsblad No. 179. Peraturan ini dikeluarkan pada waktu Pemerintah Federal Belanda menguasai sebagian wilayah Indonesia yang isinya hampir sama dengan Peraturan Koperasi yang dimuat di dalam Staatsblad No. 91 tahun 1927, dimana ketentuan-ketentuannya sudah kurang sesuai dengan keadaan Inidonesia sehingga tidak memberikan dampak yang berarti bagi perkembangan koperasi.
Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950 program Pemerintah semakin nyata keinginannya untuk mengembangkan perkoperasian.Kabinet Mohammad Natsir menjelaskan di muka Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan program perekonomian antara lain sebagai berikut : ………………….. “Menggiatkan pembangunan organisasi-organisasi rakyat , istimewa koperasi dengan cara pendidikan, penerangan, pemberian kredit yang lebih banyak dan lebih mudah, satu dan lain seimbang dengan kemampuan keuangan Negara”.
Untuk memperbaiki perekonomian-perekonomian rakyat Kabinet Wilopo antara lain mengajukan suatu “program koperasi” yang terdiri dari tiga bagian, yaitu : a. Usaha untuk menciptakan suasana dan keadaan sebaik-baiknya bagi
perkembangan gerakan koperasi; b. Usaha lanjutan dari perkembangan gerakan koperasi; c. Usaha yang mengurus perusahaan rakyat yang dapat diselenggarakan
atas dasar koperasi. Selanjutnya Kabinet Ali Sastroamidjodjo menjelaskan program
Pemerintahannya sebagai berikut : ……………………………….”Untuk kepentingan pembangunan dalam
lapangan perekonomian rakyat perlu pula diperluas dan dipergiat gerakan koperasi yang harus disesuaikan dengan semangat gotong royong yang spesifik di Indonesia dan besar artinya dalam usaha menggerakkan rasa percaya pada diri sendiri di kalangan rakyat. Di samping itu Pemerintah hendak menyokong usaha itu dengan memperbaiki dan memperlluas perkreditan, yang terpenting antara lain dengan pemberian modal kepada badan-badan perkreditan desa seperti Lumbung dan Bank Desa, yang sedapat-dapatnya disusun dalam bentuk koperasi” (Sumodiwirjo 1954, h. 4546).
Sejalan dengan kebijaksanaan Pemerintah sebagaimana tersebut di atas, koperasi makin berkembang dari tahun ketahun baik organisasi maupun usahanya.
Selanjutnya pada tanggal 15 sampai dengan 17 Juli 1953 dilangsungkan kongres koperasi Indonesia yang ke II di Bandung. Keputusannya antara lain merubah Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI). Di samping itu mewajibkan DKI membentuk Lembaga Pendidikan Koperasi dan mendirikan Sekolah Menengah Koperasi di Provinsi-provinsi. Keputusan yang lain ialah penyampaian saran-saran kepada Pemerintah untuk segera diterbitkannya Undang-Undang Koperasi yang baru serta mengangkat Bung Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Pada tahun 1956 tanggal 1 sampai 5 September diselenggarakan Kongres Koperasi yang ke III di Jakarta. Keputusan KOngres di samping halhal yang berkaitan dengan kehidupan perkoperasian di Indonesia, juga mengenai hubungan Dewan Koperasi Indonesia dengan International Cooperative Alliance (ICA).
Pada tahun 1958 diterbitkan Undang-Undang tentang Perkumpulan Koperasi No. 79 Tahun 1958 yang dimuat di dalam Tambahan Lembar Negara RI No. 1669. Undang-Undang ini disusun dalam suasana UndangUndang Dasar Sementara 1950 dan mulai berlaku pada tanggal 27 Oktober 1958. Isinya lebih biak dan lebih lengkap jika dibandingkan dengan peraturan-peraturan koperasi sebelumnya dan merupakan Undang-Undang yang pertama tentang perkoperasian yang disusun oleh Bangsa Indonesia sendiri dalam suasana kemerdekaan.
Perlu dipahami bersama perbedaan sikap Pemerintah terhadap pengembangan perkoperasian atas dasar perkembangan sejarah pertumbuhannya di Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Pemerintahan Kolonial Belanda bersikap pasif; b. Pemerintahan Pendudukan Balatentara Jepang bersikap aktif
negatif, karena akibat kebijaksanaannya nama koperasi menjadi hancur (jelek);
c. Bersikap aktif positif di mana Pemerintah Republik Indonesia memberikan dorongan kesempatan dan kemudahan bagi koperasi.
Tabel berikut menunjukkan perkembangan koperasi pada saat-saat akhir Pemerintahan Kolonial Belanda dan angka perkembangan koperasi setelah Indonesia merdeka sampai dengan tahun 1959, dengan catatan angka-angka perkembangan koperasi pada zaman Pemerintahan Pendudukan Balatentara Jepang tidak tersedia.
III . PERKEMBANGAN KOPERASI PADA MASA ORDE BARU
Pemberontakan G30S/PKI merupakan malapetaka besar bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Demikian pula hal tersebut didalami oleh gerakan koperasi di Indonesia. Oleh karena itu dengan kebulatan tekad rakyat dan bangsa Indonesia untuk kembali dan melaksanakan UUD-1945 dan Pancasila secara murni dan konsekwen, maka gerakan koperasi di Indonesia tidak terkecuali untuk melaksanakannya. Semangat Orde Baru yang dimulai titik awalnya 11 Maret 1996 segera setelah itu pada tanggal 18 Desember 1967 telah dilahirkan Undang-Undang Koperasi yang baru yakni dikenal dengan UU No. 12/1967 tentang Pokok-pokok Perkopersian. Konsideran UU No. 12/1967 tersebut adalah sebagai berikut ; 1. Bahwa Undang-Undang No. 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian
mengandung pikiran-pikiran yang nyata-nyata hendak : a. menempatkan fungsi dan peranan koperasi sebagai abdi langsung
daripada politik. Sehingga mengabaikan koperasi sebagai wadah perjuangan ekonomi rakyat.
b. menyelewengkan landasan-landasan, azas-azas dan sendi-sendi dasar koperasi dari kemrniannya.
2. a. Bahwa berhubung dengan itu perlu dibentuk Undang-Undang baru yang sesuai dengan semangat dan jiwa Orde Baru sebagaimana dituangkan dalam Ketepatan-ketepatan MPRS Sidang ke IV dan Sidang Istimewa untuk memungkinkan bagi koperasi mendapatkan kedudukan hokum dan tempat yang semestinya sebagai wadah organisasi perjuangan ekonomi rakyat yang berwatak sosial dan sebagai alat pendemokrasian ekonomi nasional.
b. Bahwa koperasi bersama-sama dengan sector ekonomi Negara dan swasta bergerak di segala sektor ekonomi Negara dan swasta bergerak di segala kegiatan dan kehidupan ekonomi bangsa dalam rangka memampukan dirinya bagi usaha-usaha untuk mewujudkan masyarakat Sosialisme Indonesia berdasarkan Panvcasila yang adil dan makmur di ridhoi Tuhan Yang Maha Esa.
3. Bahwa berhubungan dengan itu, maka Undang-Undang No. 14 tahun 1965 perlu dicabut dan perlu mencerminkan jiwa, serta cita-cita yang terkandung dalam jelas menyatakan, bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan dan koperasi adalah satu bangunan usaha yang sesuai dengan susunan perekonomian yang dimaksud itu. Berdasarkan pada ketentuan itu dan untuk mencapai cita-cita tersebut Pemerintah mempunyai kewajiban membimbing dan membina perkoperasian Indonesia dengan sikap “ ing ngarsa sung tulada, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani “.
Dalam rangka kembali kepada kemurnian pelaksanaan UndangUndang Dasar 1954, sesuai pula dengan Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, maka peninjauan serta perombakan UndangUndang No. 14 tahun 1965 tentang Perkoperasian merupakan suatu keharusan karena baik isi maupun jiwanya Undang-Undang tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan azas-azas pokok, landasan kerja serta landasan idiil koperasi, sehingga akan menghambat kehidupan dan perkembangan serta mengaburkan hakekat koperasi sebagai organisasi ekonomi rakyat yang demokratis dan berwatak social.
Peranan Pemerintah yang terlalu jauh dalam mengatur masalah perkoperasian Indonesia sebagaimana telah tercermin di masa yang lampau pada hakekatnya tidak bersifat melindungi, bahkan sangat membatasi gerak serta pelaksanaan strategi dasar perekonomian yang tidak sesuai dengan jiwa dan makna Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33. Hal yang demikian itu akan menghambat langkah serta keswakertaan yang sesungguhnya merupakan unsur pokok dari azas-azas percaya pada diri sendiri yang pada gilirannya akan dapat merugikan masyarakat sendiri.
Oleh karenanya sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 dianggap perlu untuk mencabut dan mengganti Undang-Undang No. 14 tahun 1965 tentang Perkoprasian tersebut dengan Undang-Undang baru yang benar-benar dapat menempatkan koperasi pada fungsi yang semestinya yakni sebagai alat dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (1)
Di bidang idiil, koperasi Indonesia merupakan satu-satunya wadah untuk menyusun perekonomian rakyat berazaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan yang merupakan cirri khas dari tata kehidupan bangsa Indonesia dengan tidak memandang golongan, aliran maupun kepercayaan yang dianut seseorang. Kiperasi sebagai alat pendemokrasian ekonomi nasional dilaksanakan dalan rangka dalam rangka politik maupun perjuangan bangsa Indonesia.
Di bidang organisasi koperasi Indonesia menjamin adanya hak-hak individu serta memegamg teguh azas-azas demokrasi. Rapat Anggota merupakan kekuasaan tertinggi di dalam tata kehidupan koperasi,
Koperasi mendasarkan geraknya pada aktivitas ekonomi dengan tidak meninggalkan azasnya yakni kekeluargaan dan gotong-royong.
Dengan berpedoman kepada Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 Pemerintah memberikan bimbingan kepada koperasi dengan sikap seperti tersebut di atas serta memberikan perlindungan agar koperasi benar-benar mampu melaksanakan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya.
Menurut pasal. 3 UU No. 12/1967, koperasi Indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak social, beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi yang merupakan tata azas kekeluargaan. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa “ koperasi Indonesia adalah kumpulan orang-orang yang sebagai manusia secara bersamaan, bekerja untuk memajukan kepentingan-kepentingan ekonomi mereka dan kepentingan masyarakat.
Dari pengertian umum di atas, maka cirri-ciri seperti di bawah ini seharusnya selalu nampak:
a. Bahwa koperasi Indonesia adalah kumpulan orang-orang dan bukan kumpulan modal. Pengaruh dan penggunaan modal dalam koperasi Indonesia tidak boleh mengurangi makna dan tidak boleh mengaburkan pengertian koperasi Indonesia berdasarkan perkumpulan orang-orang dan bukan sebagai perkumpulan modal. Ini berarti bahwa koperasi Indonesia harus benar-benar mengabdikan kepada perikemanusiaan dan bukan kepada kebendaan;
b. bahwa koperasi Indonesia bekerjasama, bergotong-royong berdasarkan persamaan derajat, hak dan kewajiban yang berarti koperasi adalah dan seharusnya merupakan wadah demokrasi ekonomi dan social. Karena dasar demokrasi ini, milik para anggota sendiri dan pada dasarnya harus diatur serta diurus sesuai dengan keinginan para anggota yang berarti bahwa hak tertinggi dalam koperasi terletak pada Rapat Anggota.
c. Bahwa segala kegiatan koperasi Indonesia harus didasarkan atas kesadaran para anggota. Dalam koperasi tidak boleh dilakukan paksaan, ancaman, intimidasi dan campur tangan dari pihak-pihak lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan soal-soal intern koperasi;
d. Bahwa tujuan koperasi Indonesia harus benar-benar merupakan kepentingan bersama dari para anggotanya dan disumbangkan para anggota masing-masing. Ikut sertanya anggota sesuai dengan kecilnya karya dan jasanya harus dicerminkan pula dalam hal pembagian pendapatan dalam koperasi”.
Dengan berlakunya UU No. 12/1967 koperasi-koperasi yang telah berdiri harus melaksanakan penyesuaian dengan cara menyelenggarakan Anggaran dan mengesahkan Anggaran Dasar yang sesuai dengan UndangUndang tersebut. Dari 65.000 buah koperasi yang telah berdiri ternyata yang memenuhi syarat sekitar 15.000 buah koperasi saja. Sedangkan selebihnya koperasi-koperasi tersebut harus dibubarkan dengan alasan tidak dapat menyesuaikan terhadap UU No. 12/1967 dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
a. koperasi tersebut sudah tidak memiliki anggota ataupun pengurus serta Badan Pemeriksa, sedangkan yang masih tersisa adalah papan nama;
b. sebagian besar pengurus dan ataupun anggota koperasi yang bersangkutan terlibat G30S/PKI ;
c. koperasi yang bersangkutan pada saat berdirinya tidak dilandasi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi, tetapi lebih cenderung karena dorongan politik pada waktu itu ;
d. koperasi yang bersangkutan didirikan atas dasar fasilitas yang tesedia, selanjutnya setelah tidak tersedia fasilitas maka praktis koperasi telah terhenti.
Sejak awal Pelita I pelaksanaan pembangunan telah diarahkan untuk menyentuh segala kehidupan bangsa sebagai suatu gerak perubahan kearah kemajuan. Seperti halnya Negara-negara berkembang yang menderita penjajahan di masa lalu, maka pembangunan yang berlangsung dalam suatu hubungan kemasyarakatan yang terbentuk dalam kemerdekaan, merupakan gerak perubahan yang bersifat mendasar dan menyeluruh. Dalam kaitan ini, proses pembangunan yang berlangsung dalam periode transisional dari hubungan saling pengaruh mempengaruti yang berlaku dalam lingkungan masyarakat colonial kea rah susunan dan hubungan kemasyarakatan baru, sungguh merupakan pekerjaan besar yang tidak mudah.
Periode pelita I pembangunan perkoperasian menitikbertkan pada investasi pengetahuan dan ketrampilan orang-orang koperasi, baik sebagai orang gerakan koperasi maupun pejabat-pejabat perkoperasian. Untuk memberikan peranan pada koperasi di masa dating sebagai konsekuensi Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (1), maka koperasi-koperasi perlu dilandasi lebih dulu dengan jiwa koperasi yang mendalam, perlengjkapan perlengkapan pengetahuan dan ketrampilan di bidang mental, organisasi, usaha dan ketatalaksanaan agar mampu terjun di tengah-tengah arena pembangunan. Untuk melaksanakan tujuan ini maka Pemerintah membangun Pusat-pusat Pendidikan Koperasi (PUSDIKOP) di tingkat Pusat dan juga di tiap ibukota Propinsi. Pusat Pendidikan Koperasi tersebut sekarang dirubah menjadi Pusat Latihan dan Penataran Perkoperasian (PUSLATPENKOP) di tingkat Pusat dan Balai Latihan Perkoperasian (BALATKOP) di tingkat Daerah.
Di samping investasi mental ini telah dimulai pula rintisan investasi fisik dan financial untuk melatih koperasi bergerak di bidang ekonomi. Untuk itu maka di samping pembinaan usaha dan tatalaksana didirikan pula Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) di tahun 1970 yang menjamin pinjamanpinjaman koperasi dari bank-bank Pemerintah, secara selektif dan bertahap. Di samping itu LJKK juga berperan untuk ikut dalam partisipasi modal pada proyek kredit investasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam kebijakan tertentu, Pemerintah atas dasar pertimbangannya apabila dinilai bunga atas sesuatu kredit pada koperasi terlalu tinggi, LJKK memberikan subsidi bunga. Sekarang Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) dirubah statusnya menjadi Perusahaan Umum Pengembangan Keuangan Koperasi (PERUM PKK).
Untuk mengatasi kelemahan organisasi dan memajukan manajemen koperasi maka sejak tahun1972 dikembangkan penggabungan koperasikoperasi kecil menjadi koperasi-koperasi yang besar. Daerah-daerah di pedesaan dibagi dalam wilayah-wilayah Unit Desa (WILUD) dan koperasikoperasi yang yang ada dalam wilayah unit desa tersebut digabungkan menjadi organisasi yang besar dan dinamakan Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Pada akhirnya koperasi-koperasi desa yang bergabung itu dibubarkan, selanjutnya BUUD menjelmas menjadi KUD (Koperasi Unit Desa). Karena secara ekonomi menjadi besar dan kuat, maka BUUD/KUD itu mampu membiayai tenaga-tenaga yang cakap seperti manajer, juru buku, juru mesin, juru toko dan lain-lain. Juga BUUD/KUD itu dipercayai untuk meminjam uang dari Bank dan membeli barang-barang produksi yang lebih modern, sesuai dengan tuntutan kemajuanzaman (mesin gilingan padi, traktor, pompa air, mesin penyemprot hama dan lain-lain). Ketentuan- ketentuan yang mengatur tentang Wilayah Unit Desa, BUUD/KUD dituangkan dalam Instruksi Presiden No.4/1973 yang selanjutnya diperbaharui menjadi Instruksi Presiden No.2/1978 dan kemudian disempurnakan menjadi Instruksi Presiden No.4/1984.
Dalam kenyataannya meskipun arus sumber-sumber daya pembangunan yang dicurahkan untuk mengatasi kemiskinan, khususnya di daerah-daerah pedesaan, belum pernah sebesar seperti dalam era pembangunan selama ini, namun kita sadarai sepenuhnya bahwa gejala kemiskinan dalam bentuk yang lama maupun yang baru masih dirasakan sebagai masalah mendasar dalam pembangunan nasional.
Keadaan yang telah berlangsung lama tersebut membuat masyarakat yang tergolong miskin dan lemah ekonominya belum pernah mampu untuk ikut memanfaatkan secara optimal berbagai sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia. Pada umumnya masyarakat yang termasuk golongan ini antara lain : kelompok petani, buruh tani, nelayan yang hidup di desa-desa dan kelompok pekerja kasar di kota-kota bahkan meliputi pula kelompok penerima dengan hasil tetap seperti karyawan-karyawan perusahaan serta pegawai-pegawai kecil. Mereka miskin dan lemah karena mereka tidak memiliki modal yang cukup dan ketrampilan serta pendidikan yang layak.
Namun demikian, di samping kelemahan yang ada, dapat pula dicatat berbagai potensi yang mereka miliki. Potensi dan kekuatan tersebut antara lain : (1). bahwa ada kemauan dan kemampuan bekerja keras dan keuletan untuk
dapat tumbuh dan berkembang; (2). bahwa sebagian besar dari mereka adalah pekerja dalam bidang
pertanian yang mempengaruhi dan menentukan kekuatan perkekonomian nasional;
(3). bahwa sejumlah besar mereka (70 sampai dengan 80% rakyat Indonesia tinggal di daerah pedesaan) dan (4). bahwa pada dasarnya mereka memiliki potensi social ekonomi yang dapat dikembangkan lebih lanjut melalui pendekatan pembangunan yang bersifat khusus.
Sedangkan untuk keberhasilan koperasi di dalam melaksanakan
peranannya perlu diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut : 1. Kemampuan menciptakan posisi pasar dan pengawasan harga yang
layak oleh, dengan cara : a. bertindak bersama dalam menghadapi pasar melalui pemusatan
kekuatan bersaing dari anggota; b. memperpendek jaringan pemasaran; c. Memiliki manajer yang cukup trampil berpengetahuan luas dan
memiliki idealisme; d. Mempunyai dan meningkatkan kemampuan koperasi sebagai satu
unit usaha dalam mengatur jumlah dan kualitas barang-barang yang dipasarkan melalui kegiatan pergudangan, penelitian kualitas yang cermat dan sebagainya.
2. Kemampuan koperasi untuk menghimpun dan menanamkan kembali modal, dengan cara pemupukan pelbagai sumber keuangan dari sejumlah besar anggota.
3. Penggunaan faktor-faktor produksi yang lebih ekonomis melalui pembebanan biaya over head yang lebih, dan mengusahakan peningkatan kapasitas yang pada akhirnya dapat menghasilkan biaya per unit yang relative kecil
4. Terciptanya ketrampilan teknis di bidang produksi, pengolahan dan pemasaran yang tidak mungkin dapat dicapai oleh para anggota secara sendiri-sendiri.
5. Pembebasan resiko dari anggota-anggota kepada koperasi sebagai satu unit usaha, yang selanjutnya hal tersebut kembali ditanggung secara bersama di antara anggota-anggotanya. 6. Pengaruh dari koperasi terhadap anggota-anggotanya yang berkaitan dengan perubahan sikap dan tingkah laku yang lebih sesuai dengan perubahan tuntutan lingkungan di antaranya perubahan teknologi, perubahan pasar dan dinamika masyarakat.
Pemerintah di dalam mendorong perkoperasian telah menerbitkan sejumlah kebijaksanaan-kebijaksanaan baik yang menyangkut di dalam pengembangan di bidang kelembagaan, di bidang usaha, di bidang pembiayaan dan jaminan kredit koperasi serta kebijaksanaan di dalam rangka penelitian dan pengembangan perkoperasian.