Sumber data dan metodologi
1. Data mengenai jumlah penduduk kotamadya dan wilayah kecil lainnya hanya dapat diperoleh dari hasil sensus penduduk. Sensus Penduduk 1971, 1980, dan 1990, diadakan secara bertahap yaitu: tahap pertama, sensus lengkap yang meliputi semua penduduk yang berdomisili di wilayah RI, termasuk warga negara asing kecuali korp dilomatik dan keluarganya. Pertanyaan yang diajukan kepada setiap penduduk hanya terbatas kepada nama, umur, jenis kelamin, dan hubungan dengan kepala rumah tangga. Tahap kedua, pencacahan terhadap 5 persen sampel rumah tangga dengan menanyakan pertanyaan yang sangat rinci seperti umur, jenis kelamin, hubungan dengan kepala rumah tangga, agama, kewarganegaraan, perpindahan penduduk, pendidikan, angkatan kerja, fertilitas, dan lain-lain. Jadi, jumlah penduduk menurut wilayah administrasi diperoleh dari hasil sensus lengkap, sedangkan karakteristik penduduk diperoleh dari sensus sampel.
2. Proyeksi penduduk menurut propinsi, umur, dan jenis kelamin dihitung dengan tehnik komponen. Jenis data yang dibutuhkan untuk keperluan ini adalah penduduk menurut umur dan jenis kelamin, fertilitas, mortalitas, dan perpindahan penduduk, yang diperoleh dari hasil sensus penduduk dan survei rumah tangga. Semua data yang dipakai perlu dievaluasi secara cermat, dan kalau perlu diadakan adjustment dengan maksud untuk menghapus kelemahan yang ditemukan.
3. Proyeksi penduduk menurut kotamadya yang disajikan di sini tidak dapat dilakukan dengan teknik komponen seperti diuraikan di atas, karena data untuk keperluan itu yakni fertilitas, mortalitas, dan perpindahan penduduk tidak dapat diperoleh dari hasil sensus. Di negara-negara maju, data ini diperoleh dari hasil registrasi vital yang diadakan secara berkesinambungan pada setiap wilayah administrasi.
4. Pelaksanaan registrasi vital di Indonesia belum berjalan seperti yang diharapkan dan belum dapat menghasilkan data tersebut, sehingga terpaksa diestimasi dengan tehnik tidak langsung ( indirect estimate ) berdasarkan hasil sensus dan survei. Hasilnya hanya dapat disajikan sampai tingkat propinsi saja.
5. Proyeksi penduduk dihitung dengan menggunakan laju pertumbuhan penduduk hasil sensus yang terdahulu, dengan asumsi bahwa laju pertumbuhan penduduk tersebut juga berlaku pada masa yang akan datang. Tehnik ini kurang tepat diterapkan untuk menghitung proyeksi yang jangka waktunya cukup panjang pada masa yang akan datang, karena asumsi yang dipakai biasanya tidak sesuai lagi.
Hasil proyeksi
1.
Hasil proyeksi penduduk 60 kotamadya untuk kurun waktu 10 tahun, mulai tahun 1995 sampai dengan tahun 2005, disajikan dalam tabel terlampir. Proyeksi penduduk kota-kota Iainnya belum bisa disajikan di sini karena data untuk keperluan itu tidak tersedia pada saat ini dan juga karena masalah tehnis. Masalah yang paling sulit untuk diatasi adalah tidak tersedianya data tentang penduduk yang keluar dan yang masuk dari/ke masing-masing kota, dan tidak tersedianya informasi dasar untuk menentukan asumsi pada masa yang akan datang.
2.
Jumlah penduduk kotamadya dalam tahun 2005 sangat bervariasi ( Lihat tabel ) mulai dari sekitar 25 000 orang ( Kodya. Sabang ) sampai dengan sekitar 11 juta ( DKI Jakarta ). Lebih jauh, dalam tabel tersebut terlihat bahwa tidak hanya jumlah penduduk yang bervariasi, tetapi laju pertumbuhannya juga memperlihatkan hal yang sama. Jumlah penduduk yang besar tidak selalu memperlihatkan laju pertumbuhan yang tinggi. Sebagai contoh, penduduk DKI Jakarta dan Surabaya dengan jumlah penduduk masing-masing I I juta dan 3 juta pada tahun 2005, dengari laju pertumbuhan 1,88 persen dan 1,45 persen. Sedangkan, kota Batam dan Bengkulu yang penduduknya masing- masing hanya 391 000 orang dan 570 000 orang tumbuh dengan kecepatan lebih dari 8 persen setahun. Dalam tabel tersebutjuga terlihat bahwa dua kodya yakni Jakarta Pusat dan Magelang tumbuh negatif. Hal ini menggambarkan bahwa masing-masing kota mempunyai faktor penarik ( pull factor ) yang berbeda-beda , dan pada daerah asal dari mana migran itu datang terdapat faktor pendorong ( push factor ) yang berbeda-beda pula. Besar kemungkinan bahwa karakteristik serta latar belakang migran yang masuk ke masing-masing kota cukup beragam, karena hal ini sangat tergantung kepada faktor penarik yang ada di kota tersebut.
3.
Melihat variasi pertumbuhan penduduk kodya seperti diuraikan di atas, timbul pertanyaan mengapa terjadi keadaan demikian. Laju pertumbuhan penduduk ditentukan oleh dua faktor yaitu: pertama, pertumbuhan alami ( natural increase ) yang merupakan beda antara tingkat kelahiran dan kematian, kedua, net migrasi ( social increase ) adalah perbedaan antara penduduk yang datang dan yang keluar. Faktor manakah yang Iebih dominan ? Hasil Supas 1995 ( BPS, 1997 ) memberikan gambaran umum bahwa kalau Iaju pertumbuhan penduduk suatu kota rendah, misalnya dibawah 2.0 persen per tahun, net-migrasi kota tersebut juga rendah, malahan ada yang negatif ( lebih banyak penduduk yang keluar dari yang masuk ). Jadi, laju pertumbuhan penduduk kota tersebut lebih banyak ditentukan oleh faktor perpindahan dari pada faktor kelahiran dan kematian. Lebih jauh disebutkan, kalau pertumbuhan penduduk kota terletak disekitar 2,0 sampai 2,5 persen, maka faktor pertumbuhan alami lebih dominan dari pada faktor perpindahan penduduk. Kalau laju pertumbuhan di atas 2,5 persen, faktor perpindahan dengan net-migrasi yang positif lebih berpengaruh dari faktor kelahiran dan kematian.
4.
Sebagai contoh, laju periumbuhan penduduk Kodya Jakarta Pusat yang negatif ( -2,30 persen ) yang berarti jumlah penduduknya menurun. Hal ini terjadi karena adanya pembangunan gedung-gedung perkantoran, pusat perdagangan, hotel, dan Iain-lain, seperti di sepanjang jalan Jendral Sudirman, kawasan Senen, Setia Budi, dan lain-lain. Pembangunan ini mengakibatkan tergusurnya penduduk yang bermukim di sana ke daerah pinggiran kota seperti Depok, Bekasi, Tangerang, Cinere, dan lain-lain, yang akhir-akhir ini tumbuh pesat. Gejala perpindahan penduduk dari pusat kota ke daerah pinggiran juga terjadi di kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Bandung, Medan, dan Makassar. Pusat kota yang sangat padat dan menjadi daerah perdagangan, perkantoran, perhotelan, dan lain-lain, dengan kepadatan lalu lintas yang tinggi, tidak nyaman lagi sebagai daerah hunian. Cukup banyak penduduk yang memilih tinggal di daerah pinggiran kota yang asri, tetapi tetap bekerja dalam kota.
5.
Cukup banyak orang yang berpendapat bahwa pertumbuhan penduduk kota terutama disebabkan oleh tingginya arus perpindahan penduduk dari daerah pedesan ke kota-kota tersebut ( urbanisasi ). Pendapat ini tidak seratus persen benar. Hasil Supas 1995 menunjukkan (BPS,1997 ) bahwa sebagian besar penduduk yang pindah selama lima tahun terakhir yang masuk ke kota-kota besar berasal dari daerah perkotaan (urban areas ), sedangkan sisanya berasal dari daerah pedesan ( rural areas ). Sebagai contoh, mereka yang masuk DKI Jakarta selama periode 1990-1995, 61,7 persen berasal dari daerah perkotaan, sedangkan sisanya, 35,9 persen berasal dari daerah pedesan. Pola yang sama juga terlihat di kota Medan, Bandung, dan Surabaya, dimana migran masuk yang berasal dari daerah perkotaan masing-masing 70,9 persen, 62, 4 persen, dan 53,2 persen. Pendidikan mereka yang datang dari daerah perkotaan Iebih tinggi dari mereka yang datang dari daerah pedesan, dan cukup banyak diantara mereka yang bekerja pada sektor jasa-jasa dan perdagangan. Sedangkan yang datang dari daerah pedesan, karena berpendidikan rendah, lebih banyak bekerja pada sektor bangunan, angkutan, dan industri pengolahan.
6.
Lebih jauh diungkapkan bahwa alasan utama mereka untuk pindah ke kota adalah terkait dengan pekerjaan, termasuk mencari pekerjaan.
Alasan lain adalah karena pendidikan, dan ikut suami/istri/ orang tua/anak. Kebanyakan dari mereka ini berusia muda ( dibawah 30 tahun ) dan persentase mereka yang belum kawin cukup tinggi. Ciri-ciri ini tidak hanya untuk migran yang masuk ke kota besar, tetapi merupakan ciri-ciri umum dari migran ke wilayah lainnya.
Penutup
l.
Ketepatan hasil dari suatu proyeksi penduduk tergantung kepada ketepatan dari asumsi dan kualitas data dasar yang dipakai. Kalau kita pelajari hasil proyeksi penduduk yang pernah dibuat , baik yang dibuat oleh BPS maupun innstansi lainnya, tidak ada satupun yang persis sama dengan hasil sensus penduduk. Perbedaannya terletak sekitar 2-4 persen, lebih tinggi atau lebih rendah dari hasil sensus.
2.
Pada saat ini BPS bekerja sama dengan Australian National Unversity, dengan dukungan dana dari UTTFPA, untuk mempelajari pertumbuhan tujuh kota besar di Indonesia: DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dan Medan. Studi ini menggunakan data hasil Sensus Penduduk 1990 dan Supas 1995, yang merupakan studi awal mengenai pertumbuhan kota di Indonesia. Nanti, kalau hasil Sensus penduduk 2000 sudah keluar, studi ini akan diperluas ke kota-kota lainnya.
diambil dari : http://www.surabaya.go.id/dispendukcapil/?view=artikel&id=1